warnahost.com

Sebuah Cerpen: Menghargai Pemberian (III)

Lucunya, ia langsung memberikan begitu saja dan mengetikkan nomornya di ponselku. Yang lebih tidak kusangka, begitu sampai rumah dan mulai mengontaknya, aku baru sadar ternyata diberikan nomor sedot WC. Jamban! Rani mengerjaiku. Kenapa enggak sekalian nomor telepon badut sulap?

Ini adalah bagian terakhir cerpen “Menghargai Pemberian”. Kalimat di atas adalah salah satu isinya. Jika belum membacanya, baca saja di SINI (bagian awal) dan di SINI (bagian tengahnya).

=======================================

Sebuah Cerpen: Menghargai Pemberian (III)

“Lantas, kenapa kamu tadi malah menyuruhku menjualnya kalau aku sudah punya buku itu? Apakah nanti aku sama saja tidak menghargai pemberianmu itu? Seperti yang pernah dikatakan mantan pacarku?”

“Aku tidak berpikir sejauh itu, Dit,” kata Rani, lalu meminum machiatto-nya. Setelah itu, ia terdiam dan mengetukkan jarinya ke meja seperti sedang berpikir. Aku masih menunggu jawabannya.

“Aku cuma ingin memberikanmu hadiah,” kata Rani. “Kalau ada orang yang bilang, menjual barang pemberian orang lain itu salah dan bisa membuat orang itu kecewa, rasanya bukan urusanku. Lagian, aku yang menyuruhmu untuk menjualnya, kan? Daripada kamu membuangnya?”

“Aku enggak akan pernah membuang buku. Tapi nanti pemberianmu sia-sia dong kalau kujual?”

“Tidak ada yang sia-sia menurutku. Menerima pemberian, menurutku juga sudah bentuk menghargai. Bukannya kalau dijual nanti kamu jadi dapat uang?”

Rani memang kurang ajar! Entah kenapa, anak ini sering sekali menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.

“Hmm, kalau kamu bingung jawabnya, begini deh,” ucap Rani, kemudian menghela napas dan mendengus. “Kamu ketika jatuh cinta dan menjalin hubungan pasti menitipkan atau memberi hatimu untuk orang lain, kan?”

“Lalu apa hubungannya?”

“Untuk urusan hati saja, manusia banyak yang tidak menghargainya. Saat aku memberikan hati kepada seorang cowok yang aku sayang, tapi suatu hari dia merusak seenaknya. Membohongiku dan memilih perempuan lain. Meninggalkan luka. Itu jauh lebih keji daripada menjual barang pemberian.”

“Kayaknya sekarang kamu mulai berpikir terlalu jauh, Ran.”

“Eh ... iya juga, ya? Jadi curhat pula.”

Kami tertawa bersamaan.

Begitu tawa kami reda, aku memprotes kalau hati enggak bisa disamakan dengan buku atau barang pemberian lainnya. Rani lagi-lagi menyangkal kalau bukan itu poin yang dia maksud. Kami pun terus berdebat soal menghargai pemberian itu baiknya harus bagaimana. Mungkin kami punya pandangan yang berbeda tentang itu. Makanya enggak akan pernah ketemu jalan tengah.

“Intinya gini deh,” ujar Rani, memotong pembicaraanku yang ngotot enggak mau menjual buku pemberiannya. “Kamu pokoknya udah aku kasih hadiah tiga buku itu. Selanjutnya itu urusanmu. Kamu mau simpan, buang, atau jual, terserahlah. Semua keputusan itu ada padamu.”

“Yang aku belum punya, udah pasti dibaca terus simpan. Karena suatu hari bisa kubaca ulang.”

“Ya udah, baguslah kalau gitu.”

“Buku yang lain gimana?”

“Dih, ini anak nyebelin! Aku, kan, tadi udah bilang terserah!”

Aku lagi-lagi cekikikan.

“Kalau boleh memberikanmu saran, kamu mungkin bisa menjual buku itu, lalu nanti dibelikan buku lagi yang belum kamu punya. Buku yang bakalan kamu simpan dan enggak akan pernah dijual. Mungkin buku itu bisa untuk mengenang. Maka, nanti carilah buku yang betul-betul mengingatkanmu padaku. Carilah buku yang bagus. Jadi ingatanmu padaku pun sama bagusnya.”

“Hah?” aku terkejut sama perkataannya barusan. Perempuan ini memang enggak bisa ditebak. Idenya ada-ada saja. Aku spontan bilang, “Tanpa buku pun, kamu akan selalu kuingat.”

“Semoga kamu sedang tidak membual.”

Aku tersenyum dengan sangat terpaksa. Kalimatnya terasa getir. Pertemuan itu pun malah berakhir kurang baik. Kami belum berjumpa lagi sampai saat ini, sebab Rani tidak sekali pun pulang ke Jakarta, atau aku yang belum bisa berkunjung ke Yogyakarta.

Ternyata, ucapanku pada waktu itu adalah sebuah bualan. Aku sempat lupa mempunyai teman sepertinya. Kalau bukan karena buku Murjangkung itu, mungkin aku betulan lupa, bahwa ada seseorang bernama Tirani Meliyana. Seorang teman yang membeli buku panduan menulis fiksi, tapi sampai sekarang aku enggak pernah membaca tulisannya. Aku bahkan enggak tahu apakah dirinya mempunyai blog.

Tahun ini, kami juga sudah jarang sekali bertukar kabar. Sibuk dengan kehidupan masing-masing. Aku enggak tahu bagaimana keadaannya di sana. Aku rada sungkan untuk mengontaknya. Aku enggak bisa mengintip aktivitasnya di media sosial. Sedari pertama berteman, kami memang cuma kontakan lewat WhatsApp. Tidak ada saling mengikuti akun medsos. Katanya, ia tidak suka bersenang-senang di kehidupan maya.

Jadi, ia tidak membuat satu pun akun seperti Facebook, Twitter, atau Instagram. Aku baru sadar, rupanya di era digital seperti ini, masih ada orang yang betul-betul tidak bisa diakses ketika mengetikkan namanya di pencarian Google. Wajahnya pun mulai samar-samar di ingatanku.

Tiba-tiba mataku berkaca-kaca. Rani ini betul-betul sialan. Sambil tetap memegang buku pemberiannya itu, aku masih berusaha untuk terus mengenangnya. Namun, aku sudah tidak banyak mengingat hari-hari bersamanya. Cuma kisah tadi yang bisa kuceritakan.

Pilihanku selama ini untuk terus menyimpan buku yang ia hadiahkan itu, ternyata dapat berguna saat ini. Sayangnya, pemikiran bisa berubah seiring waktu bergerak. Mungkin apa yang Rani bilang kala itu benar. Menerima pemberian juga sudah bentuk menghargai. Aku sudah menghargainya dengan menerima buku itu dan menyimpannya sampai saat ini. Sekarang, aku ingin menjual beberapa buku-buku lama yang sudah jarang dibaca. Uang hasil penjualannya nanti akan aku belikan buku baru. Buku yang selalu mengingatkanku kepada Rani.

***
END.

Oh iya, ini adalah cerpen yang saya copy dari SINI!. Cerpen ini ditulis oleh Yoga Akbar Sholihin dan dipublish pada 24 April 2019.

Related Posts

Komentar: