“Berapa lama lagi ia bisa bertahan, Dok?”
“Sekitar sebulan atau dua bulan. Atau mungkin juga bisa lebih. Semua hanya Allah yang menentukan. Kami hanya memprediksikan saja. Dia harus banyak istirahat. Ia tidak boleh banyak pikiran. Beban pikiran yang banyak akan semakin memperpendek umurnya”.
Nafasku terengah-engah mendengar perkataan dokter spesialis yang tadi memeriksaku. Aku telah divonis atas penyakit yang kuderita. Itulah percakapan terakhir yang kudengar antara dokter dengan kakakku dari balik pintu. “Sebentar lagi aku benar-benar akan mati. Aku akan meninggalkan semuanya”. Dokter tak bisa berbuat apa-apa lagi. Keluargaku hanya diminta berdoa kepada Allah supaya penyakit yang kuderita bisa disembuhkan. Perasaanku kosong. Aku tak bisa meraksakan apa-apa lagi.
****
Dua bulan lalu, aku mulai merasakan sakit yang teramat di bagian kepala dan punggungku. Penyakit ini kusembunyikan dari orang tuaku, teman-temanku, sahabatku, bahkan aku merahasiakan penyakitku ini dari orang yang sangat kucintai. Aku tak ingin seorangpun tahu atas apa yang kuderita. Aku tak ingin menyusahkan orang lain.Sebenarnya, penyakit ini telah lama sekali bermukim di tubuhku. Namun, aku tak pernah memperdulikannya. “Mungkin hanya sakit kepala biasa. Sebentar juga sembuh sendiri”, anggapku. Orang-orang yang dekat denganku pun beranggapan demikian karena selama ini aku tak pernah terlihat seperti orang yang sedang menderita penyakit akut. Aku selalu berusaha agar tidak terlihat seperti seorang penderita penyakit meski aku harus menahan segala sakit yang menyerangku dengan sekuat tenagaku.
Sebagai seorang mahasiswa bagian administrasi pada organisasi yang sedang kutekuni sudah pasti harus sering begadang. Karena sering terlalu lama berhadapan dengan komputer, ketahanan tubuhku semakin hari semakin menurun. Bahkan pernah aku jatuh pingsang di rumah salah seorang teman seusai melaksanakan shalat maghrib. Aku benar-benar tak bisa melawan penyakitku malam itu. Ketika ditanya, aku mencoba mencari alasan agar tak diketahui kalau aku sedang sakit keras. Aku beralasan kalau sudah dua malam ini aku tak pernah tidur banyak. Mereka langsung saja mempercayai perkataanku karena mereka memang sudah tahu kegiatanku selama ini. Lagi-lagi aku berbohong untuk menyembunyikan penyakitku.
Kejadian itu bukan yang pertama kalinya menimpaku. Di rumah kontrakan yang aku tinggali dulu sering juga kualami hal seperti ini. Kepalaku sering terasa ingin pecah. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya merintih menahan rasa sakit yang menyerangku. Aku tak tahu harus meminta pertolongan pada siapa. Dan yang lebih parah lagi, penyakitku itu biasanya kambuh saat teman-teman serumahku sedang tidak di rumah. Artinya, aku sedang sendirian saja. Tak ada yang mendampingiku dan tak ada yang bisa ke apotek untuk membelikanku obat. Aku benar-benar seperti orang yang sekarat dan menunggu malaikat maut datang menjemput.
Sakit kepala dan penyakit pinggang yang kuderita terkadang membuatku tak bisa berkutik. Tak peduli dalam keadaan apapun. Penyakit yang tak pernah berhenti mematuk kepalaku. Beberapa bulan terakhir ini, penyakit itu teramat sering menimpaku. Apalagi sejak sang kekasih yang sangat kucinta dan kusayangi memutuskan untuk meninggalkanku. Beban pikiranku semakin bertambah. Aku terpaksa berpikir keras dan berusaha untuk terlihat tegar meski hatiku menjerit. Dan tak pernah ada yang mendengar jeritanku. Tak ada.
Sepulang dari rumah sakit, aku hanya banyak diam. Kakakku dari tadi rupanya sudah memperhatikan tingkahku selama perjalanan kami.
“Kamu kenapa?”, tanyanya. Aku masih saja terdiam. Tiba-tiba bayangan malaikat maut memenuhi pikiranku. Aku gemetar. Seluruh tubuhku terasa dingin.
“Sebentar lagi aku akan mati kan?”, ucapku dengan kepala tertunduk. “Aku sudah tidak punya harapan untuk hidup lebih lama lagi kan?” Ia diam dan tak berkata apa-apa. Kakak hanya memegang pundakku. Rasanya aku ingin menangis tapi wajah manis sang kekasih yang telah meninggalkanku membuat air mataku tak bisa tertumpah. Aku pasrah pada penyakit yang mungkin sebentar lagi akan memisahkan antara roh dan jasadku.
Mobil masih terus melaju menuju ke rumah. Aku menatap hampa setiap jengkal jalan yang terlewati. Aku tak mengerti apa yang kini ada dalam benakku.
“Bersabarlah. Tak ada penyakit di dunia ini yang tak ada obatnya”, katanya mencoba memberiku semangat.
“Dan penyakitku ini akan terobati dengan kematian, begitu kan?”
Aku tak bisa lagi membendung air mataku. Bukan hanya karena penyakitku ini, tapi juga perih yang kurasakan karena patah hati. Lengkaplah sudah deritaku.“Kekasihku, aku sungguh merindukanmu berada di dekatku di saat-saat seperti ini”, ratap hatiku mengenang sang kekasih yang kucintai sepenuh jiwaku. Setelah itu aku kembali terdiam menatap jalan berdebu hingga sampai di rumah. Hanya air mata yang tak berhenti mengalir pada kedua pipiku.
Hari-hari berlalu. Selama dua minggu ini, aku lebih banyak mengurung diri dalam kamar dan merenung. Merenungi tentang cobaan yang kini menyambut langkahku.“Kesalahan apa yang telah kuperbuat sehingga aku mengalami masa-masa seperti ini? Apakah aku masih bisa tersenyum seperti ketika aku dan kekasihku menanti senja di tepi pantai? Menunggu matahari terbenam sambil bercanda ria?”Kini semua itu terasa menjadi mustahil setelah apa yang kudengar dari dokter beberapa hari yang lalu. Menurut ilmu kedokteran, aku hanya bisa bertahan sekitar sebulan atau dua bulan saja. Jangka waktu itu adalah waktu yang sangat singkat untuk hidupku saat ini. Penyakit yang bersarang di kepalaku belum juga menunjukkan perkembangan untuk sembuh. Mungkin karena pikiranku yang dipenuhi dengan berbagai macam masalah yang sedang kuhadapi.
Hari ini, aku kembali diperbudak penyakitku. Sakit kepala yang tak bisa lagi kutahan seperti sebulan lalu. Bahkan terbilang sangat parah. Aku juga muntah-muntah. Salah seorang teman menyarankan untuk membawaku ke rumah sakit secepatnya tetapi aku menolak. Aku takut mendengar penjelasan dokter tentang penyakitku. Lagi-lagi bayangan sang penjabut nyawa terlintas di hadapanku. Untung saja, orang yang selalu kuharapkan kedatangannya ada di dekatku. Jadi, penyakitku bisa cepat terobati meski bukan untuk penyembuhan. Semangatku untuk tetap hidup dan bisa membuatnya bahagia seolah membuatku tak merasakan penyakit yang mendatangiku. Tubuhku terasa dinaungi pohon rimbun yang selalu menyejukkanku. Aku merasakan hawa sejuk memenuhi seluruh tubuhku. Perlahan senyumnya meniadakan rasa sakit yang kurasakan. Walau lagi-lagi hanya sesaat.
Kapan semua ini akan berakhir? Haruskah aku merasakan lebih banyak lagi penderitaan ini? Betapa aku merasa semua cobaan, teguran, ataupun kutukan yang menimpaku enggan menjauh dari diriku.
Makassar, 8 Oktober 2011
aduch ,jadi sedih baca ceritanya...
BalasHapustawakkal kepada Allah..
@Atma muthmainna Heheheheeeee... Iya, tapi aku g tahu ada yg ngalami ini ato tidak. Ini hanyalah hasil imajinasiku saja.....
BalasHapusizin nyimak dulu sob,, kunjungan perdana,, follow balik sukses
BalasHapus@al kahfiSilahkan... Makasih kunjungannya!!
BalasHapus