Ia duduk di atas batu besar. Hanya dengan memakai celana pendek, bertelanjang dada, dan sehelai sarung yang diselempangkan ke bahu. Dingin angin malam, gesekan daun dengan ranting kering sama sekali tak dihiraukan. Wajahnya legam menengadah ke langit memandang bulan sebentuk perahu yang berlayar di balik awan. Tangan kanannya memegang erat sebuah jaring.
“Aku pasti bisa menangkapmu.”
Laki-laki itu meloncat dari batu besar tempat duduknya. Cahaya bulan melukis bayangan sesosok lelaki di atas tanah. Bayangannya lebih pendek dari tubuh aslinya. Ia hanya setinggi satu setengah meter. Kepala bulatnya tersangga leher tembem di atas tubuhnya yang lemu. Ia selalu membuat gerakan mematahkan leher ke arah kanan. Orang-orang desa menyebutnya pendono - kebiasaan buruk.
Sepasang kaki telanjang berlari di atas tanah. Tangan kanannya menggapai-gapai ke langit dengan jaring yang dipegang erat. Semakin kencang ia berlari, semakin cepat bulan menghidar dari jaringnya. Ketika ia menghentikan langkah sepasang kaki telanjangnya, bulan sebentuk perahu itu ikut berhenti dan memandang ke arahnya.
“Bulan,” seru lelaki pendek sambil terengah-engah “suatu hari aku pasti bisa menangkapmu.”
***
LELAKI pendek itu tinggal bersama seorang perempuan tua yang melahirkan lelaki pendek: Poyo. Tidak ada arti khusus, mengapa perempuan itu memberi nama sependek tubuh anaknya. Yang ia tahu lelaki yang tumbuh dengan air susunya itu memiliki arti yang istimewa baginya, walaupun ia memiliki kelainan fisik dan mental.
Dalam melewati hari, mereka hidup di sebuah rumah berdinding bambu. Untuk keperluan makan sehari-hari ibunya harus mengasak padi di sawah yang baru saja disiangi. Walaupun demikian perempuan itu tak pernah meratapi hidup dengan kesedihan. Dirinya selalu menterjemahkan segala penderitaan tentu akan memiliki akhir.
Beberapa hari yang lalu dirinya dipanggil oleh Marsudi untuk tanda tangan. Kata Marsudi, orang miskin seperti dirinya akan mendapatkan sepetak tegal. Tegal yang sekarang ditanami morbei oleh perhutani sesungguhnya adalah tanah milik tetua desa pada zaman Belanda. Bukti itu ada di Supiran, untuk mendapatkan hak tegal dirinya bersama beberapa orang harus menandatangani surat perjanjian, begitulah terang Marsudi kepadanya. Ia manut saja, lha wong banyak tetangganya yang ikut juga.
“Poyo pasti dapat menangkap bulan” kata lelaki pendek sambil mengangkat kedua bahunya.
“Kalau makan jangan banyak omong”
“Tapi Poyo ingin telur rebus.”
“Sudah, makan saja sambal dan nasinya itu.”
“Poyo mau tangkap bulan!”
“Bulan itu tak bisa ditangkap. Sudah, habiskan nasimu!”
“Biar!” Poyo berdiri kemudian mengambil jaring yang menyelempit di dinding bambu ”Pokoknya Poyo mau tangkap bulan.”
“Poyo, kembali!”
Lelaki pendek itu tak menghiraukan perkataan ibunya. Perempuan itu hanya bisa menggelengkan kepala sambil memandang nasi Poyo di alumunium yang tak disentuhnya sama sekali. Apabila anaknya berlaku seperti itu ia tak bisa melarangnya. Ia tahu benar bahwa tak lama lagi anaknya akan kembali dengan wajah yang murung kemudian menyusul tidur di sampingnya.
***
SAMBIL mengayunkan jaringnya ke atas, lelaki itu berlari mengejar bulan. Bayangan tubuhnya yang tergambar di bingkai tanah selalu menemani dirinya berlari. Semakin cepat ia berlari, maka semakin cepat pula bulan menghindar dari pandangannya. Kemudian dengan nafas terengah-engah akan menyumpahi bulan di atas sana.
“Dengarkan aku,” kata lelaki itu sambil terus menatap bulan “aku pasti bisa menangkapmu suatu saat.”
Lelaki itu meloncat dari batu berjalan menuju rumah Pak Haji Rahman. Dirinya suka menatap wajah Diyanti, putri pak haji, dari balik pohon jambu karena wajahnya memendar di kegelapan bagai rembulan sebentuk belahan semangka. Apalagi ketika ia melihat Diyanti memakai kerudung ketika pulang ngaji.
Malam ini ia harus membiarkan bulannya tetap mengapung jauh di langit kelam. Setelah menyelempitkan jaringnya di dinding bambu, ia perhatikan ibunya yang tengah tertidur di balai bambu. Di sampingnya ada sebuah meja dengan ublik yang menyala redup karena minyak tanahnya hampir kering. Ia menyusul tidur di samping ibunya.
***
SIANG itu Poyo bersama ibunya menyusuri tegal yang telah diterimanya dari Tim Sukses. Begitulah orang-orang menyebutnya. Sudikun, anggota Tim Sukses, menjelaskan kepadanya bahwa tegal itu sudah menjadi hak milik warga desa. Uang yang telah dikumpulkan dalam buntalan kain yang tersimpan di bawah bantal itu kini telah menjadi batang-batang jagung yang tumbuh di tegal miliknya.
Perempuan itu tersenyum melihat usia jagung yang telah lewat satu bulan. Ia melihat tunas-tunas daun hijau tumbuh di batangnya. Dua bulan kedepan ia pasti sudah dapat memetik jagung yang tumbuh di tanah tegal miliknya.
Perempuan itu juga masih ingat kata-kata Marsudi ketika ia menandatangani surat perjanjian sambil menyerahkan beberapa puluh rupiah, yang kata mereka untuk administrasi, bahwa apapun nanti yang akan terjadi dirinya harus tetap menanam di tegal, walaupun perhutani melarangnya. Tegal ini sudah menjadi milik warga dan untuk urusan sertifikat masih dalam proses pengadilan, tambah lelaki yang menjadi ketua Tim Sukses.
Ketika ia menatap tanah seluas puluhan hektar, ia teringat kembali penjelasan Tim Sukses bahwa dirinya bersama warga lain akan mendapatkan lagi jumlah yang lebih banyak dari sekarang. Asalkan warga mau mendukung kegiatannya, maka tak lama tegal itu akan menjadi milik mereka.
Dirinya sangat bersyukur bahwa Allah telah memberikan rejeki yang cukup baginya. Kebahagiaan ini telah menambah keyakinannya bahwa Allah menyayangi hambanya yang sabar dan berusaha. Allah akan memberikan rejeki pada saat yang tak pernah diduga.
Ia tak mempersoalkan seperti sebagian warga yang benci perhutani. Asal dia bisa menggarap tegal, baginya sudah lebih dari cukup, tak perlulah memusuhi perhutani yang kata sebagian warga adalah pemeras rakyat.
Semalam, Marsudi datang kembali ke rumahnya dan ke beberapa tetangga menjelaskan bahwa sertifikat tegal belum bisa jadi. Tim Sukses harus segera ke pengadilan pusat untuk mengalahkan pihak perhutani yang tak mau melepas tegal.
Perempuan itu sudah tahu bahwa dirinya harus menyerahkan uang lagi untuk urusan pengadilan. Kali ini Marsudi meminta sejumlah seratus limapuluh per orang, ia tak punya uang sebanyak itu. Namun, Marsudi adalah orang baik dalam pikirannya karena kekurangan itu dapat dicicil di kemudian hari.
Seorang tetangga di tegal lari ke arahnya dengan tergesa-gesa.
“Kita harus mbantu Tim Sukses demo di pengadilan.”
“Sekarang?”
Dengan sepasang kaki telanjang perempuan itu mengajak anaknya untuk segera pulang, karena dirinya harus ikut tetangga untuk ke pengadilan.
***
POYO menatap jagung yang dulu ditanamnya, kini telah dilindas-tuntas oleh sebuah mesin besi. Rata dengan tanah. Warga desa yang pernah menanam di tegal menatap haru tanaman mereka. Kebencian, kemarahan, bingung, ketakberdayaan, dan kepasrahan tampak di wajah petani-petani desa yang kini menundukkan kepala menatap tanah. Beberapa puluh polisi berada di sana, juga seseorang pemuda yang mengarahkan sebuah kamera. Anak-anak tersenyum sambil bergaya, seolah mereka akan masuk tv. Seorang polisi tengah berbicara di depan mereka.
“Bapak-bapak dan ibu-ibu apa yang telah kalian lakukan itu adalah melanggar hukum. Tegal ini adalah milik pemerintah. Sebenarnya pemerintah bersama masyarakat menggarap tegal ini dalam program PHBN. Penggarapan Hutan Bersama Negara. Masyarakat punya hak garap bukan hak jual seperti yang telah dijanjikan oleh Tim Sukses. Apalagi mau menandatangani pernyataan kalau saudara-saudara telah menggarap tegal ini selama 40 tahun. Itu namanya penipuan. Seharusnya bapak dan ibu menolak memberikan dana Tim Sukses untuk menuntut perhutani di pengadilan. Itu pelanggaran kepada negara dan hukumannya berat. Perhutani akan mengganti tanaman yang kini dibabat. Pada saatnya nanti saudara-saudara sekalian juga akan diberi hak garap tegal sesuai dengan jatah masing-masing.”
***
BULAN sebentuk perahu masih mengapung di langit malam. Bagaimana dirinya yang kecil ini bisa terbang, memetiknya, dan memasukkan ke dalam jaring. Poyo berfikir sambil memandangi bulan di atas batu besar. Kepalanya bergerak melukis wajah bulan. Ia teringat perkataan ibunya sebelum dirinya meninggalkan rumah.
“Kamu tak usah sedih seperti itu, kita musti bersyukur apa yang diberikan Allah untuk kita. Mulai minggu depan kita bisa menanam lagi di tegal. Tadi pak RT ngasih kartu garap kepada emak.”
Laki-laki itu mengangkat jaringnya dan mengarahkan ke wajah bulan, seolah-olah bulan itu benar-benar masuk ke dalam jaringnya. Ia melonjak-lonjak di atas batu dan berteriak kegirangan.
“Aku berhasil, aku berhasil. Sudah aku katakan aku pasti bisa menangkapmu.”
Ia berniat akan memberitahu ibunya tentang bulan yang baru saja masuk ke dalam jaringnya. Namun tiba-tiba ia membatalkan niatnya. Wajahnya kembali muram, dan ia duduk lagi di atas batu besar sambil memandang bulan sebentuk perahu yang berlayar di balik awan.
jadi inget dengan salah satu lagu Lelaki dan rembulan hasil karyanya kang Ian ANtono deh kang...:D
BalasHapusbetewe, liat fotonya, akang di kerumuni para wanita cantik mirip Antonio Banderas yang play boy cap kapak itu deh...:D
keren kang, kenalin dong satu
Kalau tdak salah yang nyanyi itu Franky Sahilatua & Jane ya Kang? :)
Hapus:D Begituah tapi bedanya saya play boy cap pisau saja Kang... Hhhhaaaa. :D
Ke makassar saja, ntar saya kasi kenal satu. hehe
Lelaki yang menangkap rembulan
BalasHapusSedang berlayar dibalik awan
Pasti lelaki itu tampan
Wanitapun mengidamkan
Walau ombak buas mengadang
HapusDemi adindayang dicari
Pasti akan tetap menerjang
Untuk hati yang merindu... :)
Sunggug pelayaran yang syahdu
HapusBerdayung bintang-bintang rindu
Disamudra awan hampir biru
Berdermaga cinta tak ragu
Dermaga telah siap untuk disinggahi
HapusPelayaran sebentar lagi usai
Penantian sebentar lagi berakhir
Dan wajah kini telah berseri kembali... :)
Judulnya menarik dan kalau di dunia kenyataan ada lelaki menangkap rembulan terus di berikan pada wanita yang ia sayang. Itu perasaan wanita langsung ngefly banget. Jamin!
BalasHapusKalau di dunia nyata, pas bulannya jatuh, orang semua pada lari... :D
HapusMasih banyak cara untuk membuat perasaan wanita melayang, kalau tidak bisa nangkap bulannya..... :) Iya kan?
Ini waktu bikin cerpennya malam hari yah pas bulan purnama.
BalasHapusSepertinya begitu bang. Hehe
Hapus