Oleh: Irhyl R Makkatutu
*Tulisan ini pernah dimuat di KOMIK IPASS edisi 8/2009
Sore itu di kantin kampus Unismuh Makassar, Ian menghampiriku meminta tulisan untuk dimuat di Buletin ini (Buletin KOMIK IPASS). Dia adalah pimpinan umum buletin KOMIK IPASS. “Daeng ada tulisanta untuk dimuat di buletin KOMIK,” ujarnya dengan sedikit bercanda, budaya yang sudah mendarah daging di IPASS bahkan mungkin di beberapa komunitas. Mungkin mereka memakai istilah prustasi (Pura-pura santai tapi serius). Saya harus menggaruk kepala yang tidak gatal. “Apa yang harus saya tulis, toh saya bukan penulis?” tanyaku pada diri sendiri. Tapi saya iyakan saja, jadinya saya repot sendiri. Inilah budaya yang harus kita anut, budaya optimisme yang menganggap segala sesuatu mampu kita lakukan, meski kita tidak punya kemampuan untuk melakukannya. “Tapi setidaknya ada usaha, jangan menyerah sebelum bertanding” kira-kira begitulah yang ada di batok kepala kita khususnya yang mengalir darah Bugis Makassar di tubuhnya. Namun dibalik itu kenapa saya mengiyakan untuk menulis? Jujur ada kata yang hampir punah dan merupakan budaya yang telah membumi di Bugis-Makassar yaitu panggilan Daengyang dilontarkan oleh pimpinan umum buletin KOMIK bahkan kota Makassar sendiri digelar Kota Daeng. Panggilan daeng adalah cermin yang membuat kita beda dengan daerah lain. Panggilan daeng sama dengan panggilan kakak. Daeng adalah panggilan penghormatan kepada yang lebih tua. Budaya Bugis Makassar yang memanggil orang dengan namanya dianggap kurang sopan apalagi orang yang lebih tua. Panggilan daeng merupakan panggilan yang kedengarannya lebih akrab dan nuansa kekeluargaannya lebih tinggi dari pada kakak atau senior.
Saya teringat seorang teman waktu pelaksanaan temu TEMAN VI (Teater Mahasiswa Nusantara) di surabaya 2008 silam seorang panitia yang bernama Innas dipanggil dengan nama Daeng Sugi (kaya) dan ia sangat senang dengan panggilan itu, dan hampir seluruh peserta temu TEMAN VI memanggilnya Daeng Sugi, Tika dari Teater Sanggul Jakarta yang diberi nama Daeng Manisi (manis). Entah ini sebuah keusilan atau untuk memperkenalkan budaya Bugis-Makassar. Bagi saya pribadi ini adalah bagian untuk memperkenalkan budaya kita khususnya panggilan Daeng dan menunjukkan kepada mereka bahwa orang Bugis-Makassar (Sul-Sel pada umumnya) juga mempunyai panggilan yang menonjolkan rasa kekeluargaandan lebih merdu dari panggilan masuntuk orang jawa. Panggilan daeng kepada orang yang lebih tua merupakan cerminan sipakatau, sipakalabbi dan sipakainga bahwa ternyata semua orang itu butuh dihormati dan dihargai. Panggilan daeng seharusnya bukan hanya ditujukan kepada mereka yang mandi keringat tiap hari mengayuh becak dengan memanggilnya daeng becak (memang becak punya daeng, atau tukang becak punya adik becak) kenapa panggilan kakak becak tidak ada. Betapa budaya kita kurang diperhatikan seakan panggilan daeng hanya bagi mereka yang terpinggirkan, ekonominya lemah. Padahal panggilan daeng kedengaran lebih indah dan mengandung nilai-nilai kekeluargaan yang erat. Kita patut bersyukur masih ada beberapa daerah yang menjadikan pa’daengan sebagai panggilan kepada orang tua yang kemudian diwariskan kepada anaknya, diantaranya kabupaten Gowa, Takalar dan Jeneponto di daerah ini masih kental pa’daengan yang disandang oleh masyarkata setempat.
Selain panggilan daeng ada jaga panggilan Andi “Ndi’” yang berarti adik, panggilan khusus kepada yang dianggap lebih muda. Budaya ini juga telah turun temurun. Budaya yang seharusnya menjadikan kita jauh lebih akrab, penuh kekeluargaan. Tentu dengan budaya seperti ini diharapkan mampu menciptakan nuansa kekeluargaan yang akan membawa kita jauh kedalam rahim kedamian dan kesejukan tanpa perlu saling sikut dan saling curiga khususnya pada pilpres mendatang. Dengan menghormati yang lebih tua dan menghargai yang lebih mudah dengan membudayakan panggilan daeng dan Ndi’diharaparkan budaya siri na paceyang tertanam jauh hari sebelum kita temui warna dunia telah tertanam di nurani leluhur kita bisa dipertahankan.
Jujur saya bangga terhadap waga IPASS yang membudayakan panggilan daeng kepada seniornya dan panggilan Andi “Ndi’ kepada yang lebih muda atau yang dianggap junior seakan membawa siliran dalam tiap jejak langkah kita.
Ketika kurangkai kata ini tiba-tiba nada dering hapeku mengagetkanku sebuah pesan singkat masuk (SMS), “Daeng sudah tidurmaq, atau begadangq lagi, jaga kesahanta y. dri Ndi’ta. Aku tersenyum membaca sms itu, ternyata di ujung sana pada pertengahan malam yang kian sunyi masih ada yang terjaga dan mengeja kata daeng yang hampir punah itu. Lalu kemudian aku merangkai kata membalasnya “Belum Ndi’ saya masih merangkai kata untuk dimuat dibuletin KOMIK karena ta’kala kujanji pimpinan umumnya, qta kenapa belum tidur” dri daengta.
Malam semakin tenggelam dalam pekatnya, dan nada sms yang bertandang ke hapeku kian jadi…….. Aku bersyukur karena kata iya yang kulontarkan sore itudi kantin kampus mampu kutuntaskan. Olehnya itu, budaya optimisme memang harus dibudayakan dan panggilan Daeng dan Ndi’ adalah spirit kekeluargaan yang harus tetap dipelihara khususnya di kampus biru (Unismuh) ini untuk menjadikan Unismuh sebagai kampus yang menjunjung nilai-nilai budaya lokal.
Muhajirin, dini hari 23 Mei 2009
Ketika sepi jadi jawaban dan SMSnya jadi hiburan.