warnahost.com

Esai: Kematian Itu Indah karya Asdar Muis RMS

Esai: Kematian itu indah karya Asdar Muis RMS


Apakah kamu ingin membiarkan ibumu tersiksa? Tidak kah lebih baik pergi. Toh kematian itu indah. Kalimat itu berkejaran di benak saya saat keluar ruangan untuk menghindar dari kenyataan bahwa hari ini ibu saya sedang terbaring sekarat di ruang UGD (unit gawat darurat), rumah sakit Wahidin Sudirohusodo sambil mencari darah.

Kalimat tersebut mengiang seakan tak henti. “Kamu harus siap! Kamu harus siap!” Jika kamu memaksakan diri untuk menginginkan ibumu berusia panjang, mestilah kamu pikir bahwa penderitaannya tentu makin panjang. Biarkanlah ia pergi.

Saat itu, ibu muntah darah. Penyakit sirosis hepatitis dan kanker hati menderanya hampir enam bulan. Namun saya tetap berharap ibu sembuh. Saya selalu dengar bahwa penyakit seperti itu membuat pasiennya kesakitan yang tidak tertahankan. Sementara ibu tak pernah mengeluh. Saya yakin bila ibu belum parah.

Ternyata, ternyata, ternyata saya tidak pernah tahu jika ibu menahan sakit. Menyembunyikan derita. Menginginkan semua orang di sekitarnya tidak ikut sedih. Tidak ikut pedih.

Akankah saya siap membiarkan ibu pergi?

Yang pasti, di saat terbaring dan memandang wajah saya setelah ia mencari saya untuk mendekat, saya berujar lirih: “Saya tidak siap ditinggal, tidak siap ditinggal”. Pun saya segera menuju kakinya. Saya ciumi telapaknya. Saya menangis berharap kesembuhannya. Tapi saya rasa telapak kaki itu makin dingin. Kakinya kian dingin. Dan saya tahu ibu akan pergi.

Mencoba tegar, saya berdiri di sisinya. Di dekat wajahnya. Di dekat tumpahan muntah darahnya. Di dekat muntahan darahnya. Saya lalu berkata pelan.

“Saya ikhlas melepas mama”

Pun saya hanya mampu mengigit bibir. Membiarkan mata basah air yang tumpah hingga membanjiri baju kaos yang saya gunakan. Ahhh….. Hatiku haru biru.

Dunia terasa hancur. Saya menyaksikan kepergian ibu yang berusia 68 tahun ke hadirat Ilahi, Minggu, 24 Desember 2006 jelang Isya. Di malam natal itu, saya kehilangan ibu. Kehilangan kasih sayang. Kehilangan semangat dan ruangan pun terisi air mata.

Dua hari sebelum kepergian ibu, saya berkunjung ke ruang ICU Wahidin Sudirohusodo. Di sana ada Andi Mutty, Ayahanda H.M. Lutfhi Andi Mutty terbaring. Tubuhnya disergap beragam selang. Saat itu Lutfhi berkata, keluarga tak menginginkan ayah dibawa ke Makassar, tapi saya harus berjuang untuk membuatnya sembuh. Tapi ia mengaku siap ditinggal ayahnya yang telah berusia 76 tahun.

Siap atau tidak, kita harus siap ditinggalkan oleh orang-orang yang kita cintai. Begitu ujar Lutfhi yang sangat berbisik. Dan ia kemudian harus merelakan kematian ayahnya, Kamis 28 Desember 2006 sore di Masamba. Dua jam setelah tiba dari Makassar.

Saya menyaksikan ayah wafat, Jumat 11 Januari 1985 pagi. Saya berdiri di sampingnya di rumah di Pangkep setelah beberapa saat tiba dari rumah sakit. Hampir 8 bulan ia sakit. Ia didera kanker lambung. Ia pergi di usia 49 tahun. Saat itu saya hanya bisa menangis melihat wajahnya terbaring layu dan akhirnya menutup mata.

Dua pekan sebelum kepergian ibu

Seorang teman meminta izin untuk menuliskan in memorial diri saya, walau kenyataannya saya belum mati dan saya mengizinkannya. Pun saya tidak tahu mengapa pengalaman-pengalaman orang lain yang bersentuhan dengan saya diminta menuliskan lead-nya. Saya benar-benar sudah mati.

Kematian itu indah. Kematian itu indah. Istri saya berbisik sambil matanya berderai air bening. Ia masih sedih ditinggal pergi oleh ibu yang tidak pernah menganggapnya anak mantu, tapi anak yang seperti lahir dari rahim ibu saya sendiri.

Benarkah mati itu indah? Saya yakin. Saya yakin. Saya memandang istri yang matanya tetap basah. Dan saya teringat, saya teringat kalimat yang saya ucapkan ketika ibu baru saja menghembuskan nafas terakhir. "Mama, mama sangat cantik".

Kalimat ini juga saya ucapkan kala juga saya terbaring di rumah. Rumah yang ia berikan kasih sayang, cinta, kehidupan, semangat, harapan. Dan saya tahu, ia tidak ingin kepergiannya membuat kami anak-anaknya kehilangan cinta, kehilangan harapan, kehilangan semangat. Dan ia tetap cantik dalam kepergiannya. Sangat. Sangat cantik.


Ditulis di Makassar, 29 Desember 2006


Esai lainnya bisa lihat di sini! Jika ingin mendengarkan penulisnya membacakan esai di atas bisa lihat pada video di bawah.

Related Posts

Komentar: