warnahost.com

Esai: Dunia Dipenuhi Orang Bodoh karya Asdar Muis RMS

Esai: Dunia Dipenuhi Orang Bodoh karya Asdar Muis RMS

Tidak sedikit orang bodoh di dunia ini. Kalimat itu meluncur dari bibir Heri van De. Ia berusia 76 tahun yang lahir di negeri Belanda dan menetap di Sydney, Australia. Dan setiap tahun berlibur ke Indonesia itu mengaku gerah melihat tingkah laku masyarakat dunia yang cenderung bodoh. Ia kemudian mengambil contoh kebodohan pemimpinnya, John Hoag, yang memposisikan Indonesia sebagai ancaman dan mengabdikan diri sebagai boneka pada Amerika Serikat.

Duduk ngobrol bersamanya di sebuah hotel di kota Jogjakarta, medio Juli 2003 itu memang sangat mengasyikkan. Sambil menghisap rokok putihnya, ia tidak henti mencerca perilaku pemimpin dunia yang menurutnya sangat bodoh. Pun ia menuding Josua itu gila perang seperti Tony Blair dan juga John Hoag. Ketika Paul Keating memimpin kami di Australi, Indonesia itu adalah saudara Asia kami. Tapi saat ini, Indonesia itu ancaman. Itu kan bodoh. Dan lebih bodoh lagi masyarakat karena percaya bahwa Indonesia memang ancaman.

Begitu ujar Heri yang sangat ingin mengunjungi Makassar setelah mendengar penjelasan saya tentang keindahan kota tua di Sulawesi bagian selatan itu. Masih soal kebodohan itu pula, Ia berlari ke kamarnya. Ia sodorkan majalah terbitan Garuda yang dibagi-bagikan di atas pesawat dari Sydney ke Bali.

Coba lihat, siapa yang bisa kenal Makassar, Flores, Banten, Pontianak jika yang dibahas dalam majalah ini malah tentang keindahan Malaysia. Haa! Ayo, ini kan bodoh.

Saya hanya bisa termangu. Kusimak media intern itu dengan hati gundah. Laporan utamanya pariwisata Malaysia. Aduh, kok bukan tentang daerah kita sendiri. Saya cuma bisa membatin.

Esoknya sebelum saya berangkat ke Jakarta untuk menuntaskan pekerjaan, ia bercerita panjang tentang pengalaman hidupnya. Ia menuturkan masa kecilnya yang pahit. Kala itu usianya baru 16 tahun. Ia sedang berjalan-jalan di negerinya, di Belanda. Tiba-tiba ia ditangkap lalu dibawa ke Jerman. Ia dituding sebagai orang bodoh dan tak berguna. Ia dipenjara oleh nazi. Ketika tentara Amerika datang, ia malah dituding mata-mata nazi. Nasibnya apes.

Lalu ia berlari.

Pikirnya cuma satu, lebih baik mati ditembak daripada hidup di Jerman sebagai orang yang tidak punya identitas. Ia jalan kaki selama 6 hari. Bila siang bersembunyi di hutan. Malam harinya berjalan di tengah kegelapan.

Kenangan pahit itu tidak mudah terlepas dari ingatannya. Di usianya yang senja dengan fisik yang sepertinya masih kuat, traumatik perang tetap membayang di benaknya. Makanya ia sangat tidak setuju jika ada perang. Tapi anehnya, ia malah setuju militer dikerahkan ke Aceh. Eh, kok bisa. Menurutnya, Aceh tidak boleh lepas. Indonesia harus kuat, harus satu. Pun ia kecewa ketika Timor Timur lepas. Loh, itu kan kerja orang-orang dan pemerintah Anda toh. Begitu sergapku.

Heri yang bahasa Indonesianya itu fasih, terdiam. Matanya menerawang jauh. Lalu katanya pelan: yah, Anda betul. Orang di sana selalu melihat Indonesia sebagai ancaman sehingga harus dipecah belah sebagai negara-negara kecil yang tidak kuat. Lagipula, saat itu ada keserakahan ingin menguasai minyak di celah Timor.

Setelah jeda ia berujar: bila ada yang bertanya mengapa pemerintah Indonesia tidak membiarkan Aceh merdeka, maka ia segera menjawab, mengapa pula pemerintah Australi tidak melepas Australi Barat untuk merdeka ketika rakyatnya memberontak di tahun 1912. Saat itu, Australi Barat memiliki cadangan emas yang sangat banyak. Tapi kini sudah kurang. Sama saja dengan Aceh yang kini ingin lepas karena masih punya cadangan minyak.

Saya pening. Apakah saya bodoh jika harus membiarkan militer menembaki rakyat Aceh yang inginkan merdeka. Aahhh........ Semua daerah di Indonesia harus bersatu agar kuat. Itulah kalimat terakhir Heri yang melekat di telingaku saat meninggalkan hotel. Namun, akhirnya lenyap saat sopir taksi yang berasal dari Muntilan, sebuah kota dekat Magelang bertanya asal daerah saya. Kala saya jawab Makassar, ia langsung berkata: Oh daerah yang ada di Maluku itu ya, Mas? Aaaaa.......

Kata itu meluncur cepat dan si sopir terkaget. Eh, saya memang bodoh, Mas. Geografiku selalu angka 2. Saya memilih diam. Saya tidak mau bicara karena di pikiranku tidak jelas lagi, siapa yang bodoh. Rakyat ini bodoh? Pemimpinnya yang bodoh? Atau malah saya yang bodoh? Yang pasti, saya merasa telah menjadi bodoh. Goblok seperti orang-orang yang menciptakan perang.

Bodoh sebagai bangsa yang setiap hari dicekoki mimpi indah dan harapan hidup di tengah kehidupan yang tidak pasti. Bahhh.... sangat bodoh sebagi masyarakat dunia seperti bodohnya Bush, Blair, Hoag, dan semua pemimpin dunia yang selalu mengeluarkan kebijakan bodoh.


Yogyakarta, 26 Juli 2003


Jika ingin mendengarkan penulisnya membacakan esai di atas bisa lihat pada video di bawah.


Related Posts

1 komentar

Posting Komentar