warnahost.com

Lilyana (Sebuah Cerpen)

Lilyana-(Cerpen-Irhyl-R-Makkatutu)

Oleh: Irhyl R Makkatutu

Lelaki itu memulai kisahku saat derau menggebrak di malam renta. Di antara resah gelisahnya. Ia terjaga dan tidak bisa lagi tidur. Matanya menyimpan rindu menggemaskan. Ia menyingkap selimut dengan pelan, menghindari gerakan yang bisa membangunkan seorang perempuan—istrinya yang sedang pulas di sampingnya. Ia berjalan ke arah meja, menarik kursi lalu duduk, sesekali memijit kepalanya—yang peningnya disebabkan olehku. Aku sedang menari di kepalanya saat itu—sudah sangat lama sebenarnya.

Aku hidup di kepalanya. Menjadi kisah yang terus saja tumbuh memupuk dirinya sendiri. Bahkan sebelum ia menikahi perempuan yang tidak ingin diganggu tidurnya itu. Ia membuka laptopnya, namun sebelum itu, terlebih dahulu ia mengenakan kacamata hitam, tapi bukan pada kedua matanya, bukan. Ia mengenakannya di kepala—menjadikannya bando.

Setelah menyalakan laptop, ia kembali memijit kepalanya. Memejam mata sejenak. Menghadirkan aku lebih nyata dalam rindunya. Dan aku kegirangan ketika ia mulai menulis namaku; Lilyana. Aku tahu sejak saat itu, aku akan hidup lebih panjang dari usia lelaki itu. Dan sejak itu pula hingga kini—aku terus saja mencintainya.

Jemari lelaki itu lincah menekan huruf demi huruf di laptopnya. Dengan limpahan perasaan ia memberiku nyawa, memoles parasku lebih cantik, memberiku kehidupan—yang tidak pernah mati. Akan terus hidup di ribuan kepala yang membaca namaku, yang mendaras kisahku—maka tidak salahkan jika aku mencintai lelaki itu?

Tolong rahasiakan ini dari istrinya! Aku takut ia akan cemburu lalu membakarku. Ketika lelaki itu menuliskan nama lelaki lain yang bukan namanya sebagai kekasihku—lelaki yang mencintai dan aku cintai yang bukan dirinya. Aku menangis sejadi-jadinya. Ssttt, jangan menertawaiku atau menganggapku gila, meski aku tokoh fiktif dari sebuah cerita, tapi aku telah diberi air mata, disusupi perasaan. Aku memang hanya fiktif, tapi tidak mati. Fiktif dan mati beda, bukan? Yang membuat marahku meledak, bukan hanya satu lelaki yang “jodohkan” denganku, tapi ada beberapa lelaki—yang tidak mungkin aku cintai.

Baik, kuberitahukan satu sifat perempuan kepadamu. Perempuan sangat kokoh dalam mencintai lelaki yang benar-benar dicintainya. Perempuan tidak pernah bisa dimiliki seutuhnya oleh lelaki lain yang tidak dicintainya, meski lelaki itu telah menjadi suaminya. Ada kepingan hatinya yang tidak pernah bisa ia serahkan kepada suaminya—kepingan itu akan tetap menjadi miliki lelaki yang dicintainya.

Lalu kenapa banyak perempuan bertahan melawan derita itu, melawan dirinya sendiri? Berusaha terlihat lebih mencintai suaminya daripada lelaki yang dicintai sesungguhnya—itu karena perempuan lebih bertanggung jawab. Dan tanggung jawab di tempatkan melebihi cintanya, melebihi egonya sendiri. Dan ia punya senjata ampuh lari dari rasa sedih, kabur dari rasa rindunya kepada lelaki yang dicintainya; menangis.

Mimpiku sederhana, aku selalu ingin memberi kejutan di hari kelahiran lelaki itu, 14 Februari. Tapi aku tidak punya sempat, ia meninggalkanku menuju jalan yang tidak punya jalan pulang—kematian. Sementara aku berumah dalam novelnya—yang tidak akan pernah mati selama huruf-huruf masih dibaca atau selama dunia dan segala isinya masih bernapas.

“Lilyana, menangislah, jangan sungkan!” bujuk Aufa, tokoh perempuan yang pintar memainkan violin, yang membuat Dewa jatuh cinta kepadanya. Aufa lebih tegar ketimbang aku. Aufa gagal menikah dengan Dewa, ia menikah dengan paksa. Dan aku gagal menikah dengan Yusril. Dan entah bagaiman lelaki itu menyatukan Yusril dengan Aufa sebagai suami istri. Dewa dimasukkan ke dalam kehidupanku. Tapi, aku tidak mencintai Dewa, aku telah jatuh cinta kepada lelaki itu.
“Ini bulan kelahiran lelaki yang menghidupkan kita, Aufa.” Kataku. Aufa hanya mengangkat bahunya, namun aku bisa menangkap sedih di matanya. Ia perempuan penyuka musik dan aku selalu percaya, orang yang menyukai musik jauh lebih peka terhadap kesedihan, terhadap derita di sekitarnya.

Kamu tahu “pembaca”, kami para tokoh yang dilahirkan lelaki itu dalam novel yang diberi judul Infinitum, setiap bulan kelahiran dan kematiannya akan berkabung selama sebulan penuh. Jika kamu perhatikan kertas-kertas novel itu, barangkali kamu akan menemukan air mata kesedihan kami.

Aku sedih karena lelaki itu meninggalkanku, ia membiarkanku hidup di kepala banyak orang, tapi aku kesepian. Aku selalu lebih mudah menangis daripada siapa pun. Kini, aku sedang merindukan lelaki itu, dan sudah kukatakan tadi, perempuan memiliki senjata untuk lari dari rasa rindunya; menangis.

Aufa berjalan meninggalkanku, ia dijemput oleh suaminya—mantan kekasihku dalam kisah itu. Tapi, aku tidak pernah cemburu kepada Aufa, sebab aku telah jatuh cinta kepada lelaki itu, yang menulis namaku di tengah malam renta saat ia terjaga.
*****

Kopi hitam itu bertahan di tengah gelasnya. Seorang lelaki sedang membaca namaku di novel yang ditulis lelaki itu. Aku ingin teriak kepadanya. Aku ingin ia membawaku ke makam lelaki itu—membiarkan hujan datang meleburkanku lalu menyatu ke lahadnya—menemaninya bukan sebagai cerita, tapi sebagai kekasih yang terus ada untuknya.

Aku tidak tega ia kesepian, benar-benar tidak tega. Tapi aku tak punya kuasa, dan aku hanya bisa menangis. Aku suka mengunjungi rumah lelaki itu ketika sedang sepi, menatapi bingkai foto yang di dalamnya bukan foto, tapi novel yang ditulisnya. Di mana namaku ada. Aku diperlakukan baik oleh istrinya, tapi cemburuku tidak pernah bisa reda.

Jika kamu “pembaca” mengira nama yang ditulis pada sebuah kisah fiksi tidak merasa kesepian, tidak sedih ketika yang menciptakannya telah tiada, kamu keliru. Atau jika kamu berpikir tokoh fiksi tidak hidup, tidak cemburu atau ia tidak bisa jatuh cinta, itu salah besar. Kami hidup dan punya perasaan.

Begini saja, jangan paksa aku mencintai tokoh lelaki yang ditulis lelaki itu. Aku benar-benar tidak bisa. Aku telah mencintainya, dan aku akan selalu berkabung di bulan Februari dan Agustus—bulan kelahiran dan kematiannya. Begitulah caraku mengenang lelaki yang namai kekasih itu.

“Lalu kamu, dengan cara apa kamu akan mengenang kekasihmu setelah kematiannya?”
###

Rumah kekasih, 11 Februari 2017
Cat: Untuk mengenang Ahyar Anwar (Alm). Tokoh-tokoh cerpen ini adalah tokoh dalam novel Infinitum. Cerpen ini terinspirasi dari novel tersebut dan Trilogi Seokram karya Sapardi Djoko Damono. “Dengan cara apa kamu akan mengenang kekasihmu setelah kematiannya?” (Ahyar Anwar)


Cerpen ini pernah dimuat di Koran Harian Fajar

Related Posts

Komentar: