Andai tak bisa aku ingkari, kan ku tepati dengan pasti.
Meski harus menukar purnama dengan mentari..
Namun perih, senja memanggil di tanah lahir...
Aku harus kembali....
Sudah berhari-hari...
Aku simpan dia dalam peti hati...
Ingin ragawi bernyanyi mengurai untuk membuatnya sampai..
Apa kata dari maksud hati yang tersimpan mungkin sampai mati..
Tapi Tuhan tak izinkan ini, hingga kan bertemu dengan lain hari..
Telah ku iringkan hatiku, merangkainya, seraya menunggu Sang mentari..
Menunggu kapan Sang detik berganti hari...
Tangis ini ingin berurai, tapi lekas ku tepi...
Dan sampai terhantui rasa simpati meringis oleh ingkarnya janji..
Terbayang ragawi bersua rohani berdiri sambil berpuisi...
Di hadapan diri yang telah lama dipuja puji...
Yah, engkau yang berdiri dalam garis yang tak bertepi...
Namun hanya di sini aku berani untuk bersimpati..
Kau bukan ilusi, itulah sadarnya diri.
Namun naif ketika harus ingin termiliki oleh hati yang sepi sendiri..
Biarkan saja, kau cukup di sini saja, terselip di ruang hati..
Tak akan terganti sekalipun diri telah termiliki...
Ampuni bibir yang telah berjanji..
Santunkan hati untuk tak tersakiti.
Semoga tetap ada titik bersua di lain hari...
Kan ku sambut kau dengan sejuta puja-puji...
Bumi Tuhan, 27 November 2014
Kalau membaca bait bait PUISI ini ingetnya sam mba ANisayu aja deh
BalasHapusSoalnya beliau juga menghiasi artikel blognya dengan puisi puisi yang indah
Seperti di sini
Hehe... Iya Kang. Mbak Anisayu juga suka bikin puisi-puisi kayak saya. :)
HapusKau bukan ilusi, puisi ini cukup mewakilkan perasaanku saat ini
BalasHapusPuisi adalah ungkapan jiwa. Saya yakin sampai saat ini, kalau yang menulis puisi selalu menyisipkan perasaan yang dialaminya dalam tiap puisi yang ditulisnya....
HapusSemoga yang ditujukan dapat mengerti... :)
mantap nih puisi nya mas. .
BalasHapusHehe.. Tks apresiasinya bro.... :)
HapusTerima kasih telah singgah...
Salam blogging.. :)