Kisah awal di pagi hari.
Pagi yang indah dan masih menyisakan sebuah misteri dari sebuah rahasia pula. Beribu bahkan berjuta tanya masih berbolak-balik di kepalaku. Hingga saat ini belum ada satu pun yang terjawab. Aku tidak pernah tahu apa penyebabnya. Padahal sebelumnya selalu ada jalan yang terbentang. Tapi kali ini benar-benar membuat kepalaku terasa ingin pecah memikirkannya. Karena itu, aku ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian yang pernah menganggapku ada sebelum semuanya tiada dan tidak berbekas. Setidaknya itulah yang selalu memberiku semangat. Meski sampai hari ini, aku tetap gagal membuktikan jika aku orang yang selalu punya banyak solusi untuk tiap masalah yang datang. Aku tak mampu membantu lepas dari masalah yang sedang menemui sahabat dekatku dengan sebuah solusi yang cemerlang. Aku dan kisah seorang sahabat yang masih bertanda tanya. Masih tak terjawab dan juga masih tak berwajah. Semua masih mungkin.....
Lain waktu.
Hampir setiap hari aku berusaha untuk membuat seorang sahabat agar mampu berdamai dengan hatinya. Setidaknya sampai klimaks dari masalahnya muncul. Namun, setiap kali kucoba meyakinkannya jika semua masalah pasti akan ada akhirnya, selalu saja tak mampu. Selalu saja stagnan dan tak bisa lagi kulanjutkan. Aku terhenti di tengah jalan.
Aku masih sangat ingat ketika masalah ini baru saja membuntutinya. Aku tidak pernah melihat dia seperti itu sebelumnya. Aku sebagai sahabat tentu saja tidak menginginkan hal seperti itu. Dan satu waktu ketika kutanyakan lagi masalahnya untuk yang kesekian kalinya, dia hanya tertunduk dan tidak mengatakan apa-apa.
Hening sejenak.
“Perceraian”, hanya kata itu yang pertama kali dia ucapkan dan masih dengan kepala yang tertunduk. “Yah, hanya perceraian inilah yang mau tidak mau harus kulalui. Sebuah solusi yang sama sekali tak pernah kuinginkan'', dengan sedikit terbata, dia melanjutkan kalimatnya setelah beberapa saat terdiam dengan mata yang berkaca-kaca”. Sepertinya dia sedang mengutuk dirinya sendiri. Padahal selama ini, dia selalu mampu menemukan solusi yang baik untuk orang-orang di sekeliling jika ada masalah, sama sepertiku. Hanya saja bedanya, dia lebih bijak dariku. Tapi kali ini? Dia terpeleset ke dalam jurang yang amat terjal dan aku sangat paham perasaannya. Meski saat ini akupun tidak mampu memberinya semangat sebagai penegar buatnya.
***
Kisah sore hari di suatu waktu.
Matahari harusnya indah senja ini, namun cuaca tidak memberinya kesempatan. Langit berawan hitam pekat dan mungkin sebentar lagi hujan. Dia masih terdiam dan masih duduk di tempat itu. Tempat yang sama seperti hari sebelum hari ini. Tempat dimana dia pernah mengukir banyak kenangan indah bersama kekasihnya dulu. Ada yang tak biasa dari tatapannya. Memandang kosong ke tengah samudera. Tak ada yang bisa dia nikmati. Juga senja yang berhalangan memberikan indahnya. Ah, semoga malam nanti tak seperti sore ini dan juga berharap kesedihannya agak reda. Dan masih tetap di tempat itu. Aku tak punya kesempatan untuk banyak bicara dengannya. Sekedar bercanda atau seperti kebiasaan-kebiasaan yang sering kami lakukan bersama. Tertawa! Kami hanya berteman hening.
''Masih menawar cinta....'' Begitu kalimat yang dia ucapkan. Lalu diam dan tunduk. Tak ada kalimat lagi. Sesaat semua kembali menjadi hening. ''Aku hanya ingin memulai semuanya dari awal setelah kami bercerai”, ucapnya memecah diam yang setia menemani kami sore itu. Begitulah kalimat yang kudengar darinya. Lelaki yang telah lama kukenal. Teman sepermainanku sewaktu kami kecil dulu. Aku bisa melihat kepedihan dari tatapannya. Mungkin hanya aku yang tak banyak bicara ketika membahas masalahnya. Sedangkan yang lain lebih sering menyalahkan dirinya atas masalah yang sedang terjadi. Banyak yang menganggapnya tidak bertanggungjawab atas kejadian ini. Sementara aku tahu persis, dia orang yang bagaimana. Tak ada yang pernah mengerti apa yang kini bergumul dalam hati dan perasaannya.
Di tengah malam.
Jawabmu singkat ketika kutanya sudah berapa lama kau menyimpan semua ini. “Setahun”. Kurasa itu bukan waktu yang singkat dan mungkin inilah puncak dari semuanya. Karena itu, kau mengatakan jika jalan inilah satu-satunya yang terpaksa harus kau tempuh. “Tapi mengapa harus jalan itu? Apakah tak ada lagi cinta di antara kalian?”, aku sedikit mencoba membawanya keluar untuk melihat masalahnya. Sebab aku percaya, masalah yang besar akan mampu kita selesaikan ketika kita memposisikan diri di luar dari masalah yang sedang kita hadapi.
“Tentu saja aku tak pernah memintanya untuk memilih jalan ini. Dia yang menginginkannya”, katanya dengan suara yang agak tinggi. Aku tak melanjutkan pertanyaanku karena aku mengerti apa yang dia rasakan. Aku hanya sedikit tersenyum saat dia minta maaf setelahnya. “Sudahlah, aku juga tak ingin terlalu mencampuri urusan pribadinya terlalu dalam”, gumamku dalam hati.
Suatu hari kala hujan mengembara di bumi.
“Menikmati tiap rintik hujan yang jatuh.... Tak ada lagi yang bisa dia lakukan selain pasrah. Perceraian itu sudah di depan mata. Sungguh pedih jika harus kehilangan orang yang sangat disayangi....
Surat perceraian itu terpaksa dia tanda tangani. Aku bisa melihat dari raut wajahnya dan dari tangannya yang gemetaran. Dia berkeringat dingin. Mungkin saja hatinya sedang menangis. Aku menyaksikannya dengan kedua mataku.....
Katanya, kau adalah jelmaan kerinduannya yang selalu membara. Yang selalu menjadi bayangan di tiap jejaknya. Menjadi teman kala tak ada yang mempedulikannya. Menjadi lentera kala gelap menyelimutinya. Kau adalah kesempurnaan yang dia miliki meski kesempurnaan itu tak ada di dunia ini. Katanya, kaulah reinkarnasi cintanya yang telah mati. Begitu katanya....
''Setelah selesai, aku ingin pergi sejauh mungkin. Karena andai aku tinggalpun, tak ada lagi yang kupunya di tempat ini selain kenangan indah yang menikam hati ketika masih bersama mantan istriku'', katanya ketika kami singgah di sebuah tempat yang dulu menjadi tempat favorit mereka kala masih bersama. Aku kembali membisu.
''Sejenak memang tak terlihat. Tapi jika kau mengerti, aku tak lagi memikirkannya. Pernikahan itu bagiku tak pernah ada''. Kalimat ini membuatku percaya tidak percaya. Namun, ini benar-benar terjadi pada sahabat karibku. Aku pun tak habis pikir penyebabnya. Aku ingin membiarkannya tenang dan tak terlihat seperti ini lagi....
"Aku tak ingin lagi membahas masalah ini, toh semuanya sudah tak berguna lagi. Nasinya sudah menjadi bubur. Keputusan itu tak mampu lagi kuubah. Keputusannya sudah bulat untuk bercerai", katamu.
"Dua minggu di sini dengan beberapa kesibukan baru tak membuatku melupakan yang pernah terjadi. Aku masih tak percaya jika dia kini berstatus mantan istriku", pesan singkat ini kuterima darinya.
Aku sejenak diam. Entah mengapa, setiap ada yang kau bicarakan, aku selalu tak bisa memberikan jawaban atau apapun dengan langsung menjawab. Mungkin karena aku bisa memahami persis posisimu. Aku hanya mampu mengucapkan sedikit kata saja.
"Jangan terlalu dipikirkan. Melihatlah ke depan", aku membalas pesannya.
Dua bulan ini, aku tidak berkomunikasi dengannya. Itu bisa kupahami. Aku tahu kalau dia masih sangat terpukul dengan masalahnya. Biarlah perasaannya tenang dulu. Dan sekali lagi, aku tak mampu memberikan solusi untuk seorang sahabat yang paling dekat denganku. Tidak seperti biasanya. Kali ini aku benar-benar tak mampu berkata apa-apa. Mungkin karena aku sangat paham dan bisa merasakan masalah yang menimpanya. Kisahnya hampir mirip dengan kisah yang pernah terlewati dalam perjalanan kehidupanku. Itu dulu. Di waktu yang sangat lama sekali. Kenangan yang pernah membuatku jatuh dan sangat terpuruk seperti yang dialami oleh sahabatku. Perbedaannya hanyalah, karena dia telah menikah dan akhirnya berpisah. Aku tahu pasti lebih sakit dan lebih pedih.
Matahari sore ini rupanya agak malu menampakkan warna jingga di wajahnya. Mendung menjadi penghalang bertemunya aku dengan senja. Tapi aku memutuskan untuk tetap menikmatinya meski indahnya tak seperti yang aku harapkan. Yang penting lelah dan penat ini sedikit melebur dan raib bersama malam yang sebentar lagi bertahta. Aku berdialog dengan diriku sendiri. Mau berbagi kisah dengan siapa lagi? Sudah setahun lebih aku tak pernah bersama seseorang menikmati senja di pantai ini. Aku terpaksa membiasakan diri untuk menyendiri bersama sepi kala sore datang.
Malam masih samar. Ponselku tiba-tiba berbunyi. Dengan sedikit semangat yang ada, aku menatap HaPe milikku dan mendapati nama sahabatku. “Ah, rupanya pesan singkat yang kuterima darinya masih berbalut duka dan air mata”. Itu masih tentang lakon kehidupannya yang dia sendiri tak tahu akan berakhir sampai kapan. Walau dia telah berusaha keras untuk membuat dirinya tegar. Namun tetap saja dia tidak mampu menepis segalanya. Dia benar-benar jatuh terpuruk dan amat terpukul.
“Kawan, hal yang harus kau percayai saat ini adalah bahwa Allah selalu menyimpan sesuatu yang indah di balik semua yang diberikan kepada hamba-Nya. Kita harus lebih jeli menghadapinya. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi besok. Semua rencana ada di tangan kita tetapi tuhan yang menentukan segalanya. Kita harus tetap melangkah karena waktu tidak akan pernah menunggu untuk sebuah kesempatan. Yang harus dilakukan adalah berusaha dan bersabar. Semua usaha yang pernah kita lakukan tidak akan pernah sia-sia.”
Aku sedikit mengingatkan jika hidup ini memiliki banyak jalan untuk bisa kembali berdiri dan menemukan sebuah kebahagiaan.
Kampung Halaman, Maret 2014
Komentar: