warnahost.com

Perempuan Bergaun Putih


Mataku tertuju pada sosok perempuan berpakaian serba putih. Langkahku terhenti sejenak. Kutatap perempuan berparas cantik itu. Perlahan aku mendekatinya. "Aku seperti mengenal perempuan itu," gumamku dalam hati.

Perempuan itu bermata sipit dengan bibir mungil berselimut lipstik tipis pula. Pakaiannya sangat rapi. Ia masih saja sibuk dengan pasiennya. Ia tidak sadar kalau dari tadi aku memperhatikanya. Aku makin mendekat meski ragu. Kuperhatikan lagi perempuan bertubuh tinggi semampai yang berdiri tidak jauh dari hadapanku. "Mungkinkah dia Suhartini, teman sekolahku dulu?". Pertanyaan itu masih menumpuk di kepalaku. Namun, aku belum bisa pastikan karena dia berdiri menyampingiku. Lampu yang menerpa wajahnya pun tidak terlalu terang.

Malam itu, jam sudah menunjukan pukul 02.35 dini hari. Aku masih berdiri dan bersandar pada daun pintu berwarna cokelat tua. Aku belum berani menyapanya karena aku takut aku salah orang. Kucoba bersabar dan menunggu sampai ia selesai dengan pasiennya.

Aku kembali memperhatikan wajahnya yang mungil itu dengan teliti. Lalu kucoba mengingat-ingat kembali musim dimana aku masih menggunakan seragam merah putih. Saat itu aku masih kelas 5 sekolah dasar. Aku mempunyai seorang teman dekat, namanya Suhartini. Wajahnya mirip dengan perempuan berkulit putih yang berada tidak jauh dariku.

Setelah menunggu beberapa menit, perempuan belia itu pun berbalik dan sekarang tepat menghadap kepadaku. Dengan perasaan was-was, kuberanikan diri menegurnya.
"Hai, kamu Suhartini ya?" tanyaku singkat.

Perempuan berparas lugu itu mengerutkan keningnya. Ia sepertinya kebingungan. "Kamu Suhartini kan? Kamu berasal dari daerah pinggir?" Aku kembali mengulang pertanyaanku.
"Iya betul!". Meski kebingungan ia menjawab juga pertayaanku. Kemudian ia balik bertanya sambil menunjuk ke arahku. "Kamu siapa ya? Kok kamu tahu namaku?"
"Aku Fajrin, teman sekolahmu dulu. Masih ingat?" Kataku sambil mengulurkan tangan.
"Oh........?" Ia mencoba mengingatku seraya menyambut uluran tanganku. "Kamu betul Fajrin?" Ucap Suhartini yang kembali menanyaiku!

Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Pertanyaannya itu mungkin untuk meyakinkan dirinya atau mungkin juga karena ia memang belum mengingatnya. Maklum, semenjak aku ikut ayahku pindah ke wilayah timur sepuluh tahun yang lalu, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Dan tanpa kusengaja, aku kembali bertemu dengannya di sebuah rumah sakit ternama di kota Makassar. Yang pasti sudah banyak yang berubah pada dirinya, begitu pun aku. Hanya lekukan senyum manisnya yang masih kental aku kenal.

Memang saat masih duduk di bangku sekolah, Suhartini adalah permaisuri kelas. Senyum yang manisnya itu membuat banyak teman-temanku menaruh simpati padanya, meski saat itu kami masih hijau. Selain itu, dia juga termasuk anak yang pintar. Dia sering mendapat rangking 10 besar.
"Iya! Aku Fajrin", jawabku.
"Iya.... iya.... aku ingat sekarang," ucap Suhartini yang telah mengenaliku. "Fajrin yang dulu sering juara kelas, iya kan?" katanya mengingat kembali kenangan masa kecil dulu.

Gelap semakin menyelimuti malam. Dingin pun serasa membekukan aliran-aliran darahku. Suasana di rumah sakit dr. Wahidin Sudirohusodo mulai sepi. Aku mengajak Suhartini ke sebuah kantin di rumah sakit tersebut. Tempatnya tidak begitu jauh dari lokasi dimana aku bertemu dengannya. Di sanalah aku melanjutkan pembicaraanku dengannya.
"Lama juga ya, kita tidak ketemu?"
"Iya, aku juga tak menyangka kita akan bertemu di sini."
"Kamu sudah lama bekerja di sini?"
"Saya belum bekerja tapi aku masih magan. Kalau kamu sendiri ke sini sedang apa dan apa kegiatanmu sekarang?".
"Kebetulan, sepupu temanku dirawat di rumah sakit ini. Kalau kegiatanku sekarang ini, sementara kuliah di UMM"
"Jurusan apa?". Tanya Suhartini padaku!
"Sastra Indonesia."
"Sudah semester berapa?".
"Semester dua. Kalau ka......" Aku menghentikan perkataanku karena tiba-tiba ponselku berdering. Ternyata Ian yang memanggil. "Maaf, aku angkat telepon dulu," jawabku singkat.
"Halo!", sapa Ian di balik sana.
“Ya, kenapa?".
"Ayo kita pulang sekarang, yang lain sudah nunggu".
"Tunggu sebentar ya. Aku sedang ngobrol-ngobrol dengan teman lamaku. Kamu sekarang ada di mana?"
"Di depan".
"Kamu dan yang lain ke sini aja. Aku ada di kantin".
"Baiklah". Kemudian terdengar bunyi tut pertanda telepon di sebelah diakhiri.
Suhartini tersenyum kepadaku. Senyumnya begitu sempurna. Aku menatap wajahnya yang begitu imut.
"Siapa?" Ia menanyaiku seolah penasaran.
"Ian, temanku. Dia mau mengajak pulang sekarang", jawabku menyambut senyumnya yang manis itu. "Sebentar aku kenalin kalau dia sudah nyampe di sini".

Malam kian membenamkan cahayanya. Kota Makassar telah tertidur pulas. Menjaring sisa-sisa mimpi yang sebentar lagi berlalu tinggalkan malam. Aku memandangi Suhartini yang sedang meneguk teh botol sosro. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiranku. Tidak lama kemudian di kejauhan terlihat Ian dan teman-temanku yang lain muncul.
"Itu Ian datang?" kataku memecah sunyi yang membisu.
Suhartini berbalik ke arah datangnya Ian beserta teman-teman lain.
"Fajrin, kamu kenalan dengan cewek, kok nggak panggil-pangil?" sapa Ian dengan kelakarnya sambil duduk di kursi yang ada di dekatku, disusul Kudus, Akmal, Bayu, dan Wandi.
"Dia ini teman sekolahku dulu".
"Boleh kenalan kan?" Bayu pun tak mau kalah dari Ian.
"Boleh, boleh. Oh ya Suhartini, mereka ini teman-temanku." Kataku memperkenalkan mereka.
"Hai! Aku Ian!" Sapa Ian dan berjabat tangan kemudian diikuti yang lain.
"Suhartini".
"Kamu orang pinggir juga ya?", tanya Bayu.
"Iya, aku dan Fajrin satu kecamatan," jawab Suhartini singkat.
"Tetangga dengan Fajrin di sana?" Black juga ikut menanyainya.
"Tidak! Kami berjauhan rumah."
"Trus, kenalannya di mana?"
"Kebetulan dulu aku satu sekolah dengan Fajrin, jadi aku kenal dia," kata Suhartini menjelaskan.

Mereka berlima mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti kata-kata Suhartini. Suasana pun menjadi riuh dengan kedatangan mereka. Ian, Kudus, Akmal, Bayu, dan Wandi bergantian mengeluarkan kata-kata lucu. Aku sesekali menatap wajah Suhartini yang begitu ceria.
Malam yang merangkak perlahan kian mendekati subuh. Dingin tetap selimuti malam yang lengah. Tanpa terasa sudah satu setengah jam kami duduk bercanda ria di kantin itu. Aku melirik jam tanganku.
"Sudah pukul 04.15 pagi, ayo kita pulang!" ajakku yang masih melirik arah jarum jam yang terus berlari. Mereka pun menghentikan canda tawanya.
"Ayo.... kita pulang," lanjut Kudus yang dari tadi mengantuk.

Suhartini lebih dulu berdiri dan berjalan menuju kasir di kantin tersebut. Kami berenam pun ikut beranjak dari tempat duduk. Kudus, Akmal dan Wandi jalan paling depan disusul Ian dan Bayu. Aku menunggu Suhartini yang sedang membayar di kasir. Selang beberapa detik, aku dan Suhatini pun berjalan di belakang mereka. Kami menelusuri lorong-lorong rumah sakit menuju tempat kami bertemu tadi.

Suhatini harus kembali bertugas. Dalam perjalanan, aku tidak lupa menanyakan nomor handphone-nya.
"Boleh kan, kapan-kapan aku menghubungi kamu?" kataku dengan sedikit tersenyum.
"Boleh!"
"Apa tidak ada yang marah atau cemburu?" tanyaku lagi dengan sedikit bercanda.
Padahal dalam pikiranku yakin, ya pastilah ada. "Tidak mungkin cewek secantik dia belum ada yang punya, mana orangnya ramah lagi. Tak mungkinlah kalau tidak ada cowok yang mendekatinya". Bisikku dalam hati.
"Tidak! Tidak akan ada yang marah kok. Kamu boleh menghubungiku kapan saja."
"Pacarmu?"

Wajah Suhartini seketika memerah saat mendengar pertanyaanku. Entah apa yang ada di pikirannya. Yang jelas malam itu ia tertunduk malu. Ia hanya terdiam dan memandangi lantai bertegel putih. Aku sadar kalau pertanyaanku terlalu bersifat pribadi.
"Kamu bertugas sampai pagi ya?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan setelah melihatnya seperti itu. Aku juga tidak mau menanyakannya lebih jauh, takut dia tersingung.
Agak lama juga Suhartini terdiam sebelum akhirnya ia menjawab pertanyaanku.
"Iya!!!"

Tanpa terasa kami sudah sampai di pintu depan. Ian dan yang lain sudah menungguku.
"Aku pulang dulu ya! Sampai ketemu lagi lain waktu," ucapku seray melambaikan tangan kananku.
"Oke........!".

Aku berlalu meninggalkan gedung beraroma obat-obatan itu dengan perasaan yang sedikit berbeda dari biasanya. Entahlah, terasa aku menemukan kembali apa yang pernah hilang dalam diriku. Dan aku sendiri belum tahu apa itu. Atau mungkin karena selama ini aku dipusingkan dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk, hingga aku tak sempat menghibur diriku sendiri. Jadi, pertemuanku dengan Suhartini bisa melupakan sejenak apa yang menjadi beban dalam pikiranku.

Makassar, 2007

Related Posts

Komentar: